TEORI
PERKEMBANGAN ANAK
A. Teori Perkembangan Kognitif menurut
Jean Piaget
Dikembangkan oleh Jean
Piaget,
seorang psikolog Swiss yang
hidup tahun 1896-1980. Piaget adalah seorang tokoh psikologi kognitif yang
besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif
lainnya. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis
perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang,
maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya
perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget tidak
melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara
kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan metal anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut
Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap
perkembangannya sesuai dengan umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat
hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak
dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget
membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu :
a)
Periode Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir
dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode
sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat
bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting
dalam enam sub-tahapan:
- Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
- Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
- Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Ciri pokok perkembangannya
berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang
dimiliki antara lain :
- Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya.
- Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
- Suka memperhatikan sesuat lebih lama.
- Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
- Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b)
Tahapan
Praoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat
tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa
setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran
(Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara
mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang
jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan
objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris:
anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat
mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua
benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat
walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti
tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam
tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda
dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran
intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris,
yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal
tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana
perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk
memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat
imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun
memiliki perasaan. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan
intuitif.
Preoperasional
(umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan
konsep nya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan
dalam memahami objek. Karakteristik tahap ini adalah:
- Self counter nya sangat menonjol.
- Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
- Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar.
- Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap
intuitif (umur 4 - 7 atau 8 tahun), anak
telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks.
Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab
itu, pada usia ini, anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik
terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap
ini adalah :
- Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya.
- Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
- Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
c)
Tahapan Operasional Konkrit (umur 7/8-11/12 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat
tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri
berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan
objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda
berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang
paling kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama
dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan
bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai
mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa
memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar
tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami
bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal.
Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan
sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas,
panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan
atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak
diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan
untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri
pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan
kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi
hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau
gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan
proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih
efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena
anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model "kemungkinan"
dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah
dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
Namun
sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan
pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang
terkandung di dalamnya. Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan
maju. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak
perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu menelaah persoalan.
Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
d)
Tahapan Operasional Formal (11/12-18 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode
terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak
dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus
berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini
muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai
masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan
psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai
perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan
berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap
operasional konkrit.
Ciri
pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan
logis dengan menggunakan pola berpikir "kemungkinan".
Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-dedutive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik
kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini
kondisi berpikir anak sudah dapat :
- Bekerja secara efektif dan sistematis.
- Menganalisis secara kombinasi.
- Berpikir secara proporsional.
- Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling lambat pada usia 15 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan formal operation.
Proses belajar
yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan
proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional, dan
akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional
konkret, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional
formal. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang
akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru
seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif pada muridnya agar dalam
merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap
tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai
dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.
B. Teori
Perkembangan Moral Menurut Laurence Kohlberg
1. Pengertian
Tahapan Perkembangan Moral Menurut Laurence Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran
dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran
moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut
dibuat saat ia belajar psikologi di University of
Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah terinspirasi hasil
kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi
anak-anak terhadap dilema moral. Ia menulis disertasi doktornya pada tahun
1958 yang menjadi awal dari apa yang
sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari Kohlberg.
Teori ini berpandangan
bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis,
mempunyai enam tahapan
perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan
dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas
berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.
Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses
perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan
perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan
implikasi filosofis dari penelitiannya.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang
dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang
akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan
moral yang sama. Kohlberg kemudian mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon
yang dimunculkan ke dalam enam tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut
dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Teorinya didasarkan
pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi
tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding
tahap/tingkat sebelumnya.
2. Tahapan-Tahapan
Perkembangan Moral Menurut Laurence Kohlberg
Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg
dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan
pasca-konvensional. Mengikuti persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori
perkembangan kognitif, adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam
tahapan-tahapan ini. Walaupun demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada
dalam tahapan tertinggi sepanjang waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk
melompati suatu tahapan; setiap tahap memiliki perspektif yang baru dan
diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibanding tahap
sebelumnya.
Tingkat 1 (Pra-Konvensional)
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi minat pribadi
( Apa untungnya buat saya?)
Tingkat 2 (Konvensional)
1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas
( Sikap anak baik)
2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial
( Moralitas hukum dan aturan)
Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etika universal
( Principled conscience)
a. Pra-Konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral
umumnya ada pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan
penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional
menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung.
Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan
moral, dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.
Dalam tahap pertama,
individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari tindakan
mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari
sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Tahap dua menempati posisi apa
untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan dengan apa yang
paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk
juga punggungmu.” Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari
oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif
tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan kontrak sosial
(tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan diri
sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
b. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja
atau orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat
konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.
Dalam tahap tiga, seseorang
memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu mau menerima
persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka
mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan
hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran
sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang
lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud baik…'.
Dalam tahap empat, adalah penting
untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam
tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme
utama sering menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum,
maka ia salah secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan
dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari yang baik.
c. Pasca-Konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal
sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan
moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang terpisah dari
masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini
membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku
pra-konvensional.
Dalam tahap lima, individu-individu
dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan
adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan
yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai
ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau
absolut - 'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'? Sejalan
dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku.
Aturan-aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan
sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh
melalui keputusan
mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak
berlandaskan pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral
berdasar pada penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum hanya valid
bila berdasar pada keadilan, dan komitmen
terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang
tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk
tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara
yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara kondisional. Hal ini bisa
dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama.
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak
pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena
hal itu benar, dan bukan karena ada maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau
sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya secara
konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam
dari model Kohlberg ini.
C.
Contoh Tahap-tahap Perkembangan Moral
Ø Tahap 1(Orientasi hukuman dan kepatuhan)
·
Ketika seorang siswa harus mematuhi perintah dari
gurunya agar tidak mendapatkan hukuman.
·
Seorang siswa rajin belajar agar dia bisa menjadi
juara kelas.
·
Seorang siswa akan rajin belajar agar mendapat nilai
bagus dan maksimal karena orang tua menjanjikan sebuah hadiah ketika ia menjadi
juara.
Ø Tahap 2 (Orientasi relativis-intrumental)
·
Anak aktif sesuai anjuran guru agar dipuji.
·
Seorang siswa mempunyai sebuah pekerjaan rumah dari
gurunya dia meminta kakaknya untuk membantunya dan jika kakak membantunya dia
akan membantu kakaknya membersihkan pekerjaan rumah.
·
Tetap melakukan keinginan yang ada pada dirinya walau
dilarang oleh orang tua karena itu merupakan potensinya namun tetap menghargai
pendapat orang tua contohnya seorang anak mengikuti kegiatan disanggar tari
karena itu merupakan potensinya namun karena dilarang oleh orang tua sebab
sering pulang larut sehingga dia mngikuti kegiatan tari tesebut namun dia tetap
pulang lebih awal.
·
Dalam melakukan atau memberikan sesuatu kepada orang
lain, bukan rasa terima kasih atau sebagai curahan kasih sayang, tetapi
bersifat pamrih. Contohnya kegiatan jual beli.
Ø Tahap 3 (Orientasi kesepakatan antara pribadi atau Orientasi ”Anak manis”)
·
Seorang anak ikut membantu kerja bakti didesanya agar
warga sekitar berpandangan baik padanya.
·
Berperilaku sopan dan santun kepada yang lebih tua.
·
Seorang anak selalu mengutamakan rasa kebersamaan dengan
sahabat baiknya jika sahabatnya sedih maupun senang terkesan dengan sahabat
sejati
·
Agar anak dikatakan sebagai anak yang baik, maka anak
mengambil standar moral yang diberlakukan oleh orang tuanya. Seperti bangun
lebih awal ketika hari libur untuk membantu pekerjaan rumah sang ibu.
·
Selalu ramah kepada para tetangga untuk lebih menjalin
rasa persaudaraan seperti sering mengantarkan makanan, mengunjungi rumahnya.dll
Ø Tahap 4 (Orientasi hukum dan aturan)
·
Dalam ketertiban lalu lintas dianjurkan menggunakan
helm SNI dan membawa SIM untuk ketertiban bersama.
·
Seorang siswa harus mematuhi tata tertib disekolah.
Contoh : memakai seragam lengkap dalam upacara bendera.
·
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan
seorang yang berkunjung lebih dari 24 jam atau menginap wajib untuk melapor
pada RT atau RW setempat.
·
Tertib dalam administrasi yang menyangkut kepentingan
bersama. Contohnya membayar pajak , lisrik dan tagihan lain tepat waktu.
Ø Tahap 5 (Orientasi kontrak sosial legalistis)
·
Seorang warga aktif dalam mengikuti kegiatan
siskamling dengan harapan lingkungan yang dia tinggali aman, nyaman dan
tentram.
·
Seorang mahasiswa mengerjakan tugas dari dosen selain
untuk memenuhi kewajibannya sebagai mahasiswa dia juga berharap untuk dapat
memperoleh hasil study yang bagus.
·
Ikut bergotong royong dilingkungan desa contohnya
ketika seorang warga mempunyai hajat dia turut membantu dengan harapan jika
suatu saat dia membutuhkan maka warga yang lain akan turut membantu.
Ø Tahap 6 (Orientasi Prinsip Etika Universal)
·
Seorang suami yang tidak mempunyai uang boleh jadi dia
akan mencuri untuk membeli obat untuk keselamatan nyawa istrinya dengan
keyakinan menyelematkan kehidupan seseorang merupakan kewajiban moral yang
lebih tinggi dari pada mencuri.
·
Dalam sebuah diskusi untuk mencapai musyawarah mufakat
kita senantiasa menghormati pendapat orang lain walaupun bertentangan
dengan hatinurani kita.
·
Seorang hakim harus yang memberikan vonis kepada suatu
perkara sesuai ketentuan hukum walaupun bertentangan dengan hati nuraninya.
·
Ketika mendapatkan tugas mendadak diskusi dengan lawan
jenis dan tugas itu harus dikumpulkan keesokan harinya, dan kita mengerjakan
bersama hingga larut malam niat kita baik untuk mengerjakan tugas namun dimata
masyarakat itu pasti dinilai kurang baik.
terima kasih ilmunya, sangat bermanfaat ^^
BalasHapus